Sumber sumber peningalan kerajaan buleleng

Pertanyaan:

Sumber sumber peningalan kerajaan buleleng?

Jawaban:

Arca dewa ganes
Fragmen
arca gajah
Pura kebo edan pajeng bali
Pembahasan:

Definisi Kerajaan Buleleng
Kerajaan Buleleng adalah kerajaan tertua di Bali, kerajaan ini berkembang pada abad 9-11 Masehi. Kerajaan Buleleng diperintah oleh Dinasti Warmadewa, keterangan tetang kehidupan masyarakat kerajaan Bulelengh pada masa Dinasti Warmadewa bisa dipelajari dari beberapa prasasti seperti prasasti Belanjong, Panempahan dan Melatgede.

Kerajaan Buleleng merupakan sebuah kerajaan di Bali utara yang didirikan sekitar pertengahan abad ke-17 dan jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1849. Kerajaan tersebut dibangun oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti dari Wangsa Kepakisan dengan cara menyatukan semiua wilayah-wilayah Bali Utara yang sebelumnya dikenal dengan nama Den Bukit.

Kehidupan Kerjaan Buleleng

Dinasti Warmadewa didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa, berdasarkan dari prasasti Belanjong, Sri Kesari Warmadewa merupakan keturunan bangsawan Sriwijaya yang gagal menaklukan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Kegagalan itu menyebabkan Sri Kesari Warmadewa memilih pergi ke Bali serta mendirikan suatu pemerintahan baru diwilayah Buleleng.

Pada tahun 989 hingga 1011 Kerajaan Buleleng diperintah oleh Udayana Warmadewa, Udayana mempunyai 3 putra yaitu Airlangga, Marakatapangkaja dan Anak Wungsu, kelak Airlangga akan menjadi terbesar Kerajaan Medang kemulan di Jawa Timur. Menurut prasasti yang ada di pura batu Madeg, Raja Udayana menjalin hubungan erat dengan Dinasti Isyana di Jawa Timur. Hubungan tersebut dilakukan karena permaisuri Udayana bernama Gunapriya Dharmapatni adalah keturunan Mpu Sindok, kedudukan Raja Udayana digantikan putranya yaitu Marakatapangkaja.

Rakyat Buleleng mengira Marakatapangkaja sebagai sumber kebenaran hukum karena dia selalu melindungi rakyatnya, lalu Marakatapangkaja membangun beberapa tempat peribadatan untuk rakyat. Salah satu peninggalan Marakatapangkaja ialah kompleks candi yang berada di Gunung Kawi “Tampaksiring”. Pemerintahan Marakatapangkaja digantikan oleh adikanya yaitu Anak Wungsu. Anak Wungsu adalah raja terbesar dari Dinasti Warmadewa. Anak Wungsu berhasil menjaga kestabilan kerajaan dengan mengurangi berbagai gangguan baik dari dalam ataupun luar kerajaan.

Dalam menjalankan pemerintahan, Raja Buleleng dibantu dengan badan penasihat pusat yang dinamakan pakirankiran I Jro makabehan. Badan tersebut terdiri atas senapati dan pendeta Siwa serta Buddha. Badan tersebut berkewajiban memberi tafsiran dan nasihat pada raja atas berbagai permasalahan yang muncul dalam masyarakat, Senapati bertugas di bidaang kehakiman dan pemerintahan, sementara pendeta mengurusi masalah sosial dan agama.

Para ahli menyatakan keadaan masyarakat Buleleng pada masa Dinasti Warmadewa tidak begitu berbeda dengan masyarakat pada saat sekarang. Pada masa pemerintahan udayana masyarakat hidup berkelompok dalam sebuah daerah yang disebut wanua. Sebagian besar penduduk yang tinggal di wanua bermata bekerja sebagai petani. Sebuah wanua dipimpin seorang tetua yang dianggap pandai dan bisa mengayomi masyarakat.

Pada masa pemerintahan Anak Wungsu, masyarakat Buleleng dibagi menjadi 2 kelompok besar yakni golongan caturwarna dan golongan luar kasta “jaba”, pembagian tersebut didasarkan pada kepercayaan Hindu yang dianut masyarakat Bali. Raja anak Wungus pun mengenalkan sistem penamaan untuk anak pertama, kedua, ketiga dan keempat dengan nama pengenal yaitu.

Anak pertama dinamakan wayan, kata wayan berasal dari wayahan yang artinya tua.
Anak kedua dinamakan made, kata made berasal dari madya yang artinya tengah.
Anak ketiha dinamakan nyoman, kata nyoman berasal dari nom yang artinya muda.
Anak keempat dinamakan nyoman, kata ketut berasal dari tut yang artinya belakang.

Selama pemerintahan Anak Wungsu peraturan serta hukum ditegakkan dengan adil, masyarakat diberikan kebebasan berpendapat. Kalau masyarakat mau menyampaikan pendapat mereka didampingi pejabat desa untuk menghadap langsung pada raja. Kebebasan itu membuktikan Raja Anak Wungsu sangat memperhatikan nasib rakyat yang dipimpinnya.

Kegiatan ekonomi masyakarat Buleleng berfokus pada sektor pertanian, keterangan kehidupan ekonomi masyarakat Buleleng bisa dipelajari dari prasasti bulian. Dalam prasasti bulian ada beberapa istilah yang berkaitan dengan sistem bercocok tanam seperti sawah, parlak “sawah kering”, gaga ” ladang”, kebwan “kebun”, mmal ” ladang di pegunungan” serta kasuwakan “pengairan sawah”.

Pada masa pemerintahan Marakatapangkaja kegiatan pertanian berkembang dengan pesat, perkembangan itu erat hubungannya dengan penemuan urut-urutan menanam padi yaitu mbabaki “pembukaan tanah”, mluku “membajak”, tanem “menanam padi”, matun “menyiang”, ani-ani “menuai padi” serta nutu “menumbuk padi”. Dari keterangan itu sangat jelas bahwa pada masa pemerintahan Marakatapangkaja penggarapan tanah telah maju dan tidak jauh berbeda dengan pengolahan tanah pada masa sekarang.

Perdagangan antarpulau di Buleleng telah cukup maju, kemajuan tersebut ditandai dengan banyaknya saudagar yang mampir dan melakukan kegiatan perdagangan dengan penduduk Buleleng. Komoditas dagang yang terkenal dari Buleleng adalah kuda. Dalam prasasti Lutungan bertuliskan bahwa Raja Anak Wungsu melakukan transaksi perdagangan 30 ekor kuda dengan saudagar dari Pulau Lombok. Keterangan itu membuktikan bahwa perdagangan pada saat itu telah maju kareja kuda adalah binatang besar sampai memerlukan kapal besar pula untuk mengangkutnya.

Peninggalan Kerajaan Buleleng

Prasasti Blanjong dikeluarkan oleh seorang raja Bali yang dikenal Sri Kesari Warmadewa. Pada prasasti ini disebutkan kata Walidwipa, yang artinya sebutan untuk Pulau Bali. Prasasti tersbut bertarikh 835 çaka (913 M).  Prasasti Blanjong itu ditemukan di dekat banjar Blanjong, desa Sanur Kauh, di daerah Sanur, Denpasar, Bali. Prasasti itu unik karena bertuliskan 2 macam huruf,yakni huruf Pra-Nagari dengan memakai bahasa Bali Kuno, dan huruf Kawi dengan memakai bahasa Sanskerta.

Prasasti Penempahan dan Malatgede

Prasasti Panempahan di Tampaksiring serta Prasasti Malatgede yang ditulis pada bagian paro bulan gelap Phalguna 835 S atau bulan Februari 913.

Pura itu berada di daerah Tampaksiring Bali dibangun pada tahun 967 M oleh raja Sri Candrabhaya Warmadewa. Pura ini, dipakai dia untuk melakukan hidup sederhana, lepas dari keterikatan dunia materi. Penamaan Pura Tirta Empul diambil dari nama mata air yang ada didalam pura ini yang bernama Tirta Empul. Tirta Empul berarti air yang menyembur keluar dari tanah Air Tirta Empul mengalir ke sungai Pakerisan.

Pura Penegil Dharma dibuatimulai pada 915 M. Keberadaan pura ini berhubungan dengan sejarah panjang Ugrasena, salah seorang anggota keluarga Raja Mataram I serta kedatangan Maha Rsi Markandeya di Bali.

Sistem Kepercayaan Kerajaan Buleleng

Agama Hindu Syiwa mendominasu kehidupan masyarakat Buleleng. Tetapi tradisi megalitik masih mengakar kuat dalam masyarakat Buleleng. Kondisi ini dibuktukan dengan ditemukannya beberapa bangunan pemujaan seperti punden berundak di sekitar pura-pura di Hindu. Pada masa pemerintahan Janasadhu Warmadewa agama Budha mulai berkembang. Perkembangan ini ditandai dengan penemuan unsure-unsur Budha seperti arca Budha di Gua Gajah dan stupa di pura Pegulingan.

Agama Hindu dan Budha mulai mendapat peranan penting pada masa Raja Udayana. Pada masa ini pendeta Syiwa dan brahmana Budha diangkat sebagai salah satu penasehat raja. Masyarakat Buleleng menganut agama Hindu Waesnawa.

Kehidupan Kemasyarakatan/Politik Buleleng
Dinasti Warmadewa didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa. Berdasarkan prasasti Belanjong, Sri Kesari Warmadewa merupakan keturunan bangsawan Sriwijaya yang gagal menklukan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Kegagalan tersebut menyebabkan Sri Kesari Warmadewa memilih pergi ke Bali dan mendirikan pemeerintahan baru.

Pada tahun 989-1011 Kerajaan Buleleng diperintah oleh Udayana Warmadewa. Udayana memiliki 3 putra yaitu, Airlangga, Marakatapangkaja, dan Anak Wungsu. Yang nantinya Airlangga akan menjadi raja terbesar di Medang Kemulan, Jawa Timur. Menurut prasasti yang terdapat di pura Batu Madeg, Raja Udayan menjlain hubungan erat dengan Dinasti Isyana di Jawa Timur. Hubungan ini dilakukan karena permaisuri Udayana bernama Gunapriya Dharmapatni merupakan keturunan Mpu Sindok. Raja Udayana digantikan oleh putranya Marakatapangkaja.

Rakyat Buleleng menganggap Marakatapangkaja sebagai sumber kebenaran hukum karena selalu melindungi rakyatnya. Marakatapangkaja membangun beberapa tempat peribadatan untuk rakyat. Salah satu peninggalan Marakatapangkaja adalah kompleks candi di Gunung Kawi (Tampaksiring). Pemerintahan Marakatapangkaja digantikan oleh adiknya yaitu Anak Wungsu. Anak Wungsu merupakan Raja terbesar dari Dinasti Warmadewa. Ia berhasil menjaga kestabilan kerajaan dengan menanggulangi berbagai gangguan dari dalam maupun luar kerajaan.

Kehidupan Ekonomi
Kegiatan ekonomi masyarakat Buleleng bertumpu pada sektor pertanian. Keterangan kehidupan masyarakat Buleleng dapat dipelajari dari prasasti Bulian. Dalam prasasti Bulian terdapat bebrapa istilah yang berhubungan dengan sistem bercocok tanam seperti sawah, parlak (sawah kering), (gaga) ladang, kebwan (kebun), dan lain sebagainya.

Perdagangan antar pulau di Buleleng juga sudah cukup maju. Kemajuan ini ditandai dengan banyaknya saudagar yang bersandar dan melakukan kegiatan perdagangan dengan penduduk Buleleng. Komoditas yang terkenal di Buleleng adlah kuda. Dalam prasasti Lutungan disebutkan bahwa Raja Anak Wungsu melakukan transaksi perdagangan 30 ekor kuda dengan saudagar dari Pulau Lombok. Keterangan tersebut membuktikan bahwa perdagangan pada saat itu sudah maju sebab kuda merupakan binatang yang besar sehingga memerlukan kapal yang besar pula untuk mengangkutnya.

Kehidupan Sosial
Dalam kehidupan sosial, masyarakat Bali, tidak terlepas dari agama yang dianutnya yaitu agama hindu (mempunyai pengaruh yang paling besar) dari Budha sehingga keadaan sosialnya sebagai berikut
1. Terdapat pembagian golongan/kasta dalam masyarakat yaitu Brahmana, Ksatria dan Waisya
2. Masing-masing golongan mempunyai tugas dan kewajiban yang tidak sama disbanding keagamaan
3. Pada masa Anak Wungsu dikenal adanya beberapa golongan pekerja khusus yaitu pande besi, pande emas, dan pande tembaga dengan tugas membuat alat-alat pertanian, alat-alat rumah tangga, senjata, perhiasan dan lain-lain.

Masa-Masa Kerajaan Buleleng

I Gusti Anglurah Panji Sakti, yang sewaktu kecil bernama I Gusti Gde Pasekan adalah putra I Gusti Ngurah Jelantik dari seorang selir bernama Si Luh Pasek Gobleg berasal dari Desa Panji wilayah Den Bukit. I Gusti Panji memiliki kekuatan supra natural dari lahir. I Gusti Ngurah Jelantik merasa khawatir kalau I Gusti Ngurah Panji kelak akan menyisihkan putra mahkota. Dengan cara halus I Gusti Ngurah Panji yang masih berusia 12 tahun disingkirkan ke Den Bukit, ke desa asal ibunya, Desa Panji.

I Gusti Ngurah Panji menguasai wilayah Den Bukit dan menjadikannya Kerajaan Buleleng, yang kekuasaannya pernah meluas sampai ke ujung timur pulau Jawa (Blambangan).

Kerajaan Buleleng tahun 1732 dikuasai Kerajaan Mengwi namun kembali merdeka pada tahun 1752. Selanjutnya jatuh ke dalam kekuasaan raja Karangasem 1780. Raja Karangasem, I Gusti Gde Karang membangun istana dengan nama Puri Singaraja. Raja berikutnya adalah putranya bernama I Gusti Pahang Canang yang berkuasa sampai 1821. Kekuasaan Karangasem melemah, terjadi beberapa kali pergantian raja. Tahun 1825 I Gusti Made Karangsem memerintah dengan Patihnya I Gusti Ketut Jelantik sampai ditaklukkan Belanda tahun 1849.

Pada tahun 1846 Buleleng diserang pasukan Belanda, tetapi mendapat perlawanan sengit pihak rakyat Buleleng yang dipimpin oleh Patih / Panglima Perang I Gusti Ketut Jelantik. Pada tahun 1848 Buleleng kembali mendapat serangan pasukan angkatan laut Belanda di Benteng Jagaraga. Pada serangan ketiga, tahun 1849 Belanda dapat menghancurkan benteng Jagaraga dan akhirnya Buleleng dapat dikalahkan Belanda. Sejak itu Buleleng dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda.

Perbedaan pendapat antar saudara keturunan ki Panji akhirnya memperlemah kekuatan kerajaan Buleleng. Buleleng Perlahan tapi pasti mengalami kemunduran.

Dampak buruknya buleleng terpecah-pecah menjadi beberapa bagian kecil. Blambangan yang dulu masih satu dengan Buleleng akhirnya lepas dan dikuasai oleh Kerajaan Mengwi sebelum akhirnya Blambangan jatuh di Kerajaan Karangasem tahun 1783

Lokasi Kerajaan Buleleng
Buleleng berdeatan dengan sungai Tukad Bueleng. Disana juga terdapat sebuah puri yang disebut sebagai puri Buleleng. Puri ini umurnya lebih tua yang berada di Desa SangketSistem Pemerintahan Kerajaan Buleleng
Berikut merupakan raja-raja yang memerintah Buleleng:

Raja dinasti Warmadewa pertama di Bali adalah Shri Kesari Warmadewa [ yang bermakna Yang Mulia Pelindung Kerajaan Singha] yang dikenal juga dengan Dalem Selonding, datang ke Bali pada akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10, beliau berasal dari Sriwijaya(Sumatra) dimana sebelumnya pendahulu beliau dari Sriwijaya telah menaklukkan Tarumanegara( tahun 686) dan Kerajaan Kalingga di pesisir utara Jawa Tengah/Semarang sekarang. Persaingan dua kerajaan antara Mataram dengan raja yang berwangsa Sanjaya dan kerajaan Sriwijaya dengan raja berwangsa Syailendra( dinasti Warmadewa) terus berlanjut sampai ke Bali.

Setelah pemerintahan Sri Kesari Warmadewa berakhir, tersebutlah seorang raja bernama Sri Ugrasena memerintah di Bali. Walaupun Baginda raja tidak memepergunakan gelar Warmadewa sebagai gelar keturunan, dapatlah dipastikan, bahwa baginda adalah putra Sri Kesari Warmadewa. Hal itu tersebut di dalam prasasti-prasasti (aantara lain Prasasti Srokadan) yang dibuat pada waktu beliau memerintah yakni dari tahun 915 s/d 942, dengan pusat pemerintahan masih tetap di Singha-Mandawa yang terletak di sekitar desa Besakih. Prasasti-Prasasti itu kini disimpan di Desa Babahan, Sembiran, Pengotan, Batunya (dekat Danau Beratan), Dausa, Serai (Kintamani), dan Desa Gobleg.

Baginda raja Sri Tabanendra Warmadewa yang berkuasa di Bali adalah raja yang ke tiga dari keturunan Sri Kesari Warmadewa. Baginda adalah putra Sri Ugrasena, yang mewarisi kerajaan Singhamandawa. Istri Baginda berasal dari Jawa, adalah seorang putri dari Baginda Raja Mpu Sendok yang menguasai Jawa Timur. Di dalam prasasti yang kini tersimpan di Desa Manikliyu (Kintamani), selain menyebut nama Baginda Sri Tabanendra Warmadewa, dicantumkan pula nama Baginda Putri. Beliau memerintah dari tahun 943 s/d 961.Kondisi Geografis dan Wilayah Buleleng
Kerajaan Buleleng berpusat di Buleleng, Bali bagian utara. Letaknya yang berada di pesisir menyebabkan Buleleng banyak disinggahi kapal-kapal dagang dari Sumatra dan Jawa. Karakteristik wilayah Buleleng dibagi menjadi dua, yaitu dataran rendah di bagian utara dan dataran tinggi di bagian selatan. Menyatunya pantai dan pegunungan ini menyebabkan penduduk di Buleleng selalu menjunjung tinggi semboyan nyegara gunung. Konsep nyegara gunung berarti segala pemberian alam maupun dari laut maupun gunung wajib disyukuri dan selalu dijaga kesuciannya.

demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Peninggalan Kerajaan Buleleng : Definisi, Kehidupan, Ekonomi, Politik, Sosial, Sistem Kepercayaan, Masa Kejayaan, Kemunduran, Lokasi, Pemerintah, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.

Bali selalu menjadi surga bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Ini bukan hanya tentang bisa menikmati kehidupan malam yang indah dan pantai yang indah. Ada juga wisata sejarah dan religi yang bisa anda lihat dalam kehidupan sehari-hari di Bali.

Salah satu wisata sejarah dan religi di Bali yang wajib dikunjungi adalah Peninggalan Negeri Buleng. Mengunjungi Bali tidak ada gunanya jika Anda tidak meluangkan waktu untuk menelusuri kembali peninggalan Provinsi Bueng.

Perlu anda ketahui bahwa kerajaan Bulen merupakan salah satu kerajaan tertua di Bali. Kerajaan Buleng diyakini telah ada sejak pertengahan abad ke-17 dan kemudian jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1849.
Sejarah Kerajaan Buleng

Kerajaan Buleleng didirikan oleh I Gustu Anglurah Panji Sakti dari Dinasti Kapkisan. Kerajaan Buleng bercorak Hindu-Buddha, dengan pusat di Buleng, Bali Utara. Bulling Kingdom banyak dikunjungi oleh para pedagang untuk berdagang, terutama perdagangan kuda. Kerajaan Buleng menjadi salah satu kerajaan tertua di Bali hingga jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1849.

Kerajaan Buleng dikenal dengan sistem ekonominya, terutama kegiatan perdagangannya. Hal ini dijelaskan dalam tulisan-tulisan yang ditulis pada saat jatuh tempo kerajaan. Kegiatan pemasaran tidak terbatas pada tempat kerja, tetapi juga pada tingkat antar pulau. Salah satunya adalah penjualan kuda, yang bisa dilakukan jika kerajaan memiliki kapal besar yang bisa mengangkut kuda.

Kerajaan Buleng memiliki banyak peninggalan yang diketahui masyarakat Bali. Seperti Vihara Penegil Dharma yang luasnya 1,5 hektar dan berisi vihara lainnya. Selain itu, ada Pura Tirta Empul yang merupakan tempat permandian suci bagi masyarakat Bali. Selanjutnya tinggal tiga prasasti, prasasti Blanjong, prasasti Malatgede, dan prasasti Penempahan.

Peninggalan Kerajaan Buleleng ini bisa menjadi pilihan untuk menikmati wisata sejarah di Bali. Anda bisa menikmati keindahan peninggalan Kerajaan Buleleng dan menambah wawasan Anda tentang Bali. Di Bali utara, Anda bisa mengunjungi pura yang merupakan peninggalan Kerajaan Buleng.
Peninggalan Kerajaan Buleng

Kali ini kita akan membahas secara mendalam tentang peninggalan Kerajaan Buleng di Bali. Anda dapat membaca di bawah ini untuk lebih jelasnya.
1. Vihara Pengil Dharma

Vihara Penegil Dharma dibangun pada tahun 915 M dan merupakan kompleks vihara seluas 1,5 hektar. Terdapat lima candi besar di tengah yang dikelilingi oleh delapan candi lainnya. Kelima pura tersebut adalah Pura Pukaking Giri (Selatan), Pura Patih Patengan Agung (Utara), Pura Kertapura (Tengah), Pura Taman Sari Mutering Jagat Istana Dharmadyaksa (Timur) dan Pura Kerta Negara Mas (Istana Raja).

Vihara Pengil Dharma merupakan bangunan batu hitam tua dan sangat kuno. Namun batu hitam ini memiliki makna yang sangat magis dan religius. Karena ketika Anda datang ke sana dan mulai berdoa, Anda merasa sangat terhormat. Vihara Penegil Dharma merupakan tempat umat memohon kesabaran, sehingga pada saat sembahyang ini hendaknya dalam keadaan bersih jiwa dan raga.

Pura Penegil Sharma memiliki sejarah panjang datang ke Bali dari Ugrasena dan Maha Rsi Markandaya. Pura Penegil Dharma dikenal masyarakat Bali sebagai Pura Susuhan. Jika Anda ingin mengunjungi Pura Penegil Dharma, Anda harus pergi ke Desa Kubutambahan dan Desa Bulyan, Buleleng Utara, Bali.

2. Pura Tirtha Impul

Salah satu peninggalan Kerajaan Buleng adalah Pura Tirta Impul yang sangat indah dan wajib dikunjungi. Pura ini merupakan salah satu tempat pemandian suci yang paling terkenal di kalangan masyarakat Bali. Pura Tirtha Impul diketahui didirikan pada tahun 967 M oleh Raja Sri Kadrabhaya Warmadewa. Pura Tirtha Impul sendiri artinya air dari dalam tanah, dari Tirtha Impul itu airnya benar-benar keluar.

Nama Pura Tirtha Impul sendiri diambil dari nama mata air di dalam pura. Air yang mengalir dari Pura Tirtha Impul mengalir ke Sungai Pakherisan. Pada zaman dahulu, candi ini digunakan ketika orang ingin melepaskan diri dari dunia material dan hidup sederhana. Jika anda memang ingin mengunjungi Pura Tirta Impul, anda harus datang ke daerah Thampaksiring, Bali.

Jika anda berkunjung ke Pura Tirtha Empul, ada satu hal yang harus benar-benar anda perhatikan. Pengunjung diharuskan mengenakan pakaian panjang dan selendang untuk memasuki pura. Karena Pura Tirta Impul bukanlah tempat pemandian biasa. Orang Bali percaya bahwa Pura Tirta Impul adalah pemandian suci yang penuh makna.

Prasasti Blanjong merupakan salah satu artefak dari Provinsi Bueng yang memiliki keunikan tersendiri. Aksara Blanjong benar-benar berbeda dengan aksara lainnya, karena aksara ini ditulis dengan 2 huruf yang berbeda. Ini adalah huruf pertama Pra-Nagari yang menggunakan bahasa dari masa Kono di Bali. Bahasa kedua yang digunakan adalah bahasa Sansekerta.

Teks Blanjong merupakan teks yang diberikan oleh Sri Kesari Warmadewa, seorang raja Bali. Kata “Walidwipa” juga terdapat dalam teks Blanjong, arti kata tersebut adalah nama pulau Bali. Artikel ini memuat berbagai artikel tentang sejarah kuno pulau Bali.

Anda harus datang ke Pura Blanjong di kawasan Banjar Blanjong untuk melihat teks ini secara langsung. Sayangnya, kondisi teks Blanjong belum sempurna, karena banyak baris huruf yang hilang. Karena pertama kali ditemukan oleh Stutterheim, teks ini dalam keadaan sangat tua.

Selain prasasti Blanjongan, ada dua prasasti lain yang merupakan peninggalan kerajaan Buleng. Salah satunya adalah Prasasti Malatgeda di Pura Pentaran Melat Tengah. Artikel ini ditemukan pada tanggal 27 Februari 1965 oleh MM Sukarto K. Atmojo ditemukan.

Pada baris pertama prasasti Malatgeda tertulis tentang Saka nomor 835 dan bulan Falguna. Baris kedua berisi nama-nama karakter, sayangnya teks ini sulit dibaca. Namun ada sebuah prasasti yang bisa dibaca dan diyakini bertuliskan nama Sri Kesari Warmadewa. Baris ketiga menyebutkan nama musuh dan baris keempat berisi teks Kadia Kadia Maksa.

Pada baris pertama prasasti Penempahan tertulis bulan Falguna, hanya tahun yang tidak terbaca. Pada baris kedua ia menyebutkan nama Raja Sri sang raja, pada baris ketiga ia menyebutkan musuh-musuh raja. Baris keempat berisi deskripsi Kadiya-kadaya untuk Ini di Tuglan.. Teks Penempahan diyakini berasal dari masa Bali klasik, ketika kebudayaannya adalah Hindu-Buddha.

Prasasti Penempahan terdapat di Pura Puseh Penempahan di Desa Manukaya. Baik teks Malatagde maupun teks Penempahan juga memiliki kesamaan. Kedua teks ini berisi tentang sejarah perang para raja. Teks ini ditulis di atas batu berbentuk patung batu besar dan terdiri dari empat baris.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *